Powered By Blogger

Seni Budaya Indonesia

Seni Budaya Indonesia
Batik

Welcome to the My Blog

"I LOVE YOU ALL"

Minggu, 27 Maret 2011

Budaya Membaca Tergerus Perangkat Instan

Ada yang berargumentasi bahwa musuh membaca adalah Internet. Para remaja bisa menghabiskan waktu berjam-jam di internet. Dan inilah mengurangi literasi, merusak kemampuan memfokuskan perhatian dan menghancurkan suatu kebudayaan milik bersama yang hanya bisa eksis lewat kegiatan membaca buku.


Ini tentang beberapa tahun lalu, tahun dimana internet belum booming, seperti saat sekarang ini. koridor-koridor kampus jadi tempat untuk menggelar kajian dengan berbagai tema. Sore sampai malam hari, kampus tetap bergeliat. Komunitas-komunitas diskusi bermunculan. Mulai dari hal berbau ‘kiri’ sampai tema berkait budaya dan agama selalu menarik dibahas.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya dua tahun yang lalu, saya mengunjungi kampus Unhas, almamaterku. Koridor kampus tetap ramai, malah lebih ramai dari delapan tahun yang lalu. Jikalau dulu kami menenteng buku Pramoedya, Derrida, Karl Marx, Foucault atau Ali Syariati, dan menggelar diskusi ‘alas koran’, kini terlihat berbeda.
Para mahasiswa kini, menenteng laptop berbagai merek. Jarang lagi terlihat buku, karena bahan bacaan sudah ter save di flashdisk, google document, blog atau Gmail. Mahasiswa nampak ramai, nongkrong di koridor kampus, membuat jarak agar tak saling mengganggu, sibuk sendiri bercengkrama dengan monitor mininya. Beberapa diantaranya, senyum-senyum sendiri.
Free hospot, kini tak hanya ada di kampus, tetapi juga di warung kopi yang banyak tersebar di Makassar. Warung Kopi Phoenam, Daeng Sija dan Kopizone, dulu adalah tempat favorit kami menggelar diskusi. Live dari stasiun radio lokal seperti mercurius, smart FM, Suara Celebes, atau stasiun lainnya, membuat diskusi ketika itu bertambah seru. Kini tak ada lagi.
1296058700699121352
Betulkah budaya membaca buku dan kajian literasi sudah tergerus semenjak ramainya website di internet, yang menyajikan beragam informasi? Saya ingin meriset diri sendiri. Jujur, buku yang terkoleksi olehku, sepertinya tidak banyak bertambah. Walau saya tahu bahwa informasi yang saya butuhkan ada di buku, tetapi saya lebih senang bertanya ke paman Google, Wikipedia ataupun website penyedia lainnya untuk informasi yang saya butuhkan. Instan.
Di buku, ada banyak detil yang tidak betul-betul perlu, sedangkan media online bisa kita fokuskan untuk memberikan apa yang kita perlukan, tidak lebih dan tidak kurang. Budaya menulis dengan menyebut sumber lengkap dengan nama serta bukunya, sepertinya menjadi tak menarik dan terkesan kaku. Ramailah postingan-postingan tulisan di blog maupun media sosial semisal kompasiana.com, hanya mencantumkan link dengan tulisan tertanda biru, bergaris bawah.
Lantas, apakah ini negatif?, Mantan CEO Google Eric Schmidt yang kini jadi Executive Chairman, perusahaan internet terbesar itu, adalah salah satu orang yang juga mengkhawatirkannya. Hal tersebut diungkapkannya dalam World Economic Forum di Davos, Swiss tahun lalu.
“Di saat seluruh dunia bisa dilihat dari perangkat instan seperti itu, Anda menghabiskan waktu lebih sedikit untuk membaca segala bentuk literatur, buku, majalah, dan sejenisnya,” ujarnya, Jumat (29/1/2010) seperti dilansir AFP, yang saya kutip di tekno.compas.com.
Menurutnya lagi, anak-anak yang lahir dan tumbuh di era informasi instan seperti sekarang ini mungkin mengalami masalah untuk melakukan deep reading atau membaca secara mendalam. informasi instan yang bisa didapat dari layar komputer bahkan ponsel, mungkin bisa berpengaruh terhadap kognitif dan kemampuan membaca.
Beberapa ilmuwan khawatir bahwa pengalaman berinternet akan menghambat berkembangnya ketrampilan penting pembaca yang baru. Membaca buku, kemudian merenungkan isinya, menarik kesimpulan dan memprosesnya dengan daya imajinasi lebih memperkaya secara kognitif daripada mendapatkan informasi singkat dan sepotong-potong lewat Web.
Nah, sepertinya penyedia internet juga sudah menyediakan electronic book (E-Book), bagi yang malas membaca Koran atau majalah, juga sudah tersedia versi onlinenya. Betulkah, internet akan berpengaruh negatif terhadap membaca? Yang pasti perpustakaan di kota, dimana saya bermukim saat ini sangat sepi, walau pemerintah telah mencanangkan “Gerakan Bantaeng Gemar Membaca”
Gerakan ini sebenarnya saya protes, karena yang harusnya perlu digalakkan adalah gemar menulis. Dengan menulis, sudah barang tentu kita membaca. Terasa kering sebuah tulisan tanpa literature, bahkan penulis fiksipun adalah pengarang yang tentu rajin membaca.

Bagaimana dengan kompasiana, sebagai sosial media? Kompasiana memberi ruang bagi membernya untuk mengesplorasi ide dan pengalaman dengan menuliskannya. Menulis tentu akan lebih baik jika dilengkapi referensi. Baik itu dari berbagai literature (termasuk buku) maupun hasil pengalaman, pencerapan ide serta imajinasi. Literature bisa kita sarikan, tentu dengan membaca, menghayatinya, menghubungkannya dan kemudian jadilah terangkai sebuah karya tulis.
Masih terasa dangkal isi tulisan ini, karena saya belum memiliki referensi cukup untuk bisa menyimpulkan bahwa membaca buku, (cetak) itu lebih baik daripada membaca di internet. Namun yang pasti membaca itu penting, apalagi jikalau kita bisa mengikatnya menjadi tulisan. Menulis bagi saya adalah membaca itu sendiri. Dengan menulis, maka saya akan rajin membaca. Saat sekarang ini, saya lebih memilih mencarinya di internet.

Tidak ada komentar: